Cerita di Hari Natal
Naruto © Masashi Kishimoto
Hari ini sangat dingin,
tapi sedingin apapun cuaca, hal itu tidak membuat Sai dan Ino ingin pulang dan
menghangatkan tubuh mereka dengan hot chocolate dan selimut. Hanya dengan bergandengan tangan saja, sudah
bisa membuat tubuh mereka masing-masing hangat.
Keduanya mengambil
tempat duduk di taman, taman yang ramai. Banyak stand didirikan
disana, menyambut hari Natal esok. Mayoritas berwarna merah ditambah hijau atau
putih.
"Besok Hari Natal,
ya, Sai?" Tanya Ino. Sai hanya mengangguk dan memberikan senyumnya. Ino
hanya membalas tersenyum, tapi sebenarnya Ino agak kesal. 'Biasanya 'kan, kalau menanyakan hal itu,
pasti pacarnya akan menanyakan apa yang diinginkannya untuk hadiah Natal,
'kaan?'
"Hei, Sai, apa kau
tahu?" Ino memulai percakapan.
"Hm?" Ujar
Sai, berusaha untuk terlihat penasaran. Dia bersedia untuk mengorbankan
telinganya, mendengar celoteh Ino yang panjang lebar, hanya untuk Ino.
"Natal tahun
kemarin, Sakura dilamar Sasuke, ingat? Cincinnya cantiiik sekali. Ada ukiran
bunga Sakura yang berwarna merah jambu, dengan aksen daun hijau di kedua
sisinya," ujar Inomemancing Sai.
Tahun lalu, Sai tidak memberikan apa-apa pada Ino. Padahal sudah 3 tahun
menjalin hubungan sejak mereka menginjak masa-masa kuliah. Tak pernah Sai
memberikan hadiah Natal pada Ino. Bukannya Sai tidak tahu apa itu hari Natal,
tapi yang Sai berikan pada Ino hanyalah ucapan selamat Natal, Ino.
"Iya, aku masih
ingat. Sasuke memang memiliki selera yang bagus. Rumahnya juga besar, dia kaya",
senyum tak pernah luput dari wajahnya. Merasa kalau pancingannya tak mengena, Ino kembali memikirkan cara lain.
"Lalu, lalu, Natal
2 tahun yang lalu, Neji memberikan sepatu Convers berwarna merah dengan tali hitam untuk Tenten.
Bayangkan, bagaimana Tenten tidak senang, Neji mengerti kalau ia menyukai
olahraga!", ujar Ino antusias. Sebenarnya Ino tidak ingin diberikan
seperti Tenten—bukan, bukan tidak ingin, tetapi, tidak diberi seperti Tenten pun tak apa, asal Sai memberinya sesuatu. Ino tidak pernah
mendapat sesuatu yang berharga, yang bisa dijadikannya kenangan akan Sai.
"Tentu saja,
sewaktu SMA dulu 'kan Tenten mengikuti ekstrakulikuler basket, dan sampai
sekarang pun dia masih menjalaninya, dia 'kan tergabung dalam Tim Basket Putri
Negara. Karena itulah dia tidak melanjutkan kuliahnya", jelas Sai. Agak
kesal, Ino merasa ia jadi diceramahi. Dia sudah tahu tentang semua itu, ia
tahu.
"Erm," Ino
berniat melanjutkan pancingannya, karena ia tahu, Sai tidak akan menyuruhnya untuk
berhenti, "ingat, tidak? waktu tanggal 27 Desember tahun lalu?"
"Hn? Ada apa? Aku
lupa," ujar Sai.
"Idih, kau ini
bagaimana, sih, Sai! 27 Desember itu 'kan ulang tahun Hinata! Masa' ulang tahun
teman sendiri lupa?" Keluh Ino.
"Oh iya juga, ya.
Hahaha. Ingatanku mulai tumpul. Ya, ya, baiklah, apa yang terjadi pada hari
itu?" Tanya Sai, berusaha terlihat penasaran. Dia senang melihat Ino yang
bercerita.
"Begini, sewaktu
tanggal 25 Desember, Hinata menerima surat dari Naruto yang sedang berada di
Jerman, surat permintaan maaf kalau Naruto tidak bisa bersama dengan Hinata
pada hari Natal. Otomatis, Hinata agak sedih, karena pasti Naruto tidak akan bisa bersamanya di hari ulang
tahunnya, tanggal 27 Desember yang berdekatan dengan hari Natal. Kau tahu?
Hinata terlihat sedih sekali. Tapi ia tetap berusaha tersenyum, Hinata hebat,
ya. Ia bisa setegar itu…" Ino hanya tersenyum sedih, ia mengerti perasaan
sahabatnya itu.
"Ya, lalu, ada
apa?"
"Pada tanggal 27
Desember, keluarga Hyuuga menerima sebuah paket besar yang ditujukan kepada
Hinata," Ino menutup matanya, menguap. Lalu ia menutupi mulutnya dengan
tangannya yang memakai sarung tangan, untuk menghangatkan bibirnya yang
melindungi mulutnya dari dingin. Lalu dia menarik nafas, siap untuk
mengeluarkan kata-kata, "saat Hinata membukanya, ternyata ada Naruto di
dalamnya. Bayangkan, betapa senangnya Hinata saat itu…" Wajah Ino memerah,
bukan karena malu, tapi karena kedinginan.
Sai yang menyadari akan
hal itu, langsung timbul perasaan khawatir, "Ino, dingin?", begitu
tanyanya. Ino hanya mengangguk, ia tidak bisa mengatakan tidak. Ia tak pernah berani membohongi Sai. "Pulang
saja, yuk? Ayo, aku antar." Sai memeluk Ino, untuk menghangatkannya. Bukan
untuk membuat suasana menjadi romantis atau apapun itu.
"Erm… Tidak. Aku
masih ingin disini, Sai." Tolak Ino, masih dalam dekapan Sai. Memang
sangatlah dingin cuaca pada saat itu, tapi malam menjelang Natal, dianggap
sangat istimewa. "Setidaknya.. sampai pukul 1 pagi, boleh, 'kan? 2 jam
lagi saja." Tanya Ino sebelum Sai memaksanya pulang. Sai tak kuasa untuk
menolak. Dia tidak menjawab apa-apa, tapi Ino tahu kalau Sai mengijinkannya dan
akan menemaninya sampai waktu yang ia inginkan. Dengan
jawaban-tanpa-tindakannya barusan itu, Sai berteguh hati untuk menjaga Ino.
"Terima kasih,
Sai." Sai hanya mengangguk, melepaskan pelukannya sesaat.
"Tapi, kalau ada
apa-apa, katakanlah, ya?" Sai mengerti betapa dinginnya cuaca,
sampai-sampai kulitnya yang pucat terasa bagaikan es, putih dan dingin.
"Erm." Angguk
Ino.
"A-anu, apa.. masih
kedinginan? Masih mau kupeluk?" Tanya Sai agak terbata-bata, agak malu.
Bukan maksud untuk merayu, tapi untuk melindungi. Dan Sai takut Ino berfikiran
lain, karena itulah ia agak malu.
"Tidak usah, Sai. Hot chocolate pesananmu sudah agak dingin, minumlah dulu, punyaku
sudah habis." Ujar Ino menunjukkan cangkirnya yang sudah bersih. Dengan
segera, Sai meminumhot
chocolate-nya yang kini seharusnya disebut warm chocolate.
Setelah Sai
menghabiskannya, ia menaruh cangkirnya di sebuah meja kecil di sebelah kursi
taman yang mereka duduki.
"Jalan-jalan dulu,
yuk? Sekalian, menghangatkan badan." Ujar Sai sambil berdiri dan
mengulurkan tangannya yang lebar, tangan seorang pelukis ke arah Ino. Ino hanya
menyambut hangat uluran tangan Sai.
"Mau kemana,
Sai?" Tanya Ino, sambil mengikuti Sai yang terus berjalan.
"Entahlah,
bagaimana kalau kita lihat persiapan pohon Natal besok?" Ujar Sai sambil
menggenggam tangan Ino.
"Boleh." Ino
setuju-setuju saja, ia tak peduli kemanapun Sai membawanya pergi. Asal malam
ini ia bersama Sai, tak apa.
Mereka berkeliling, ke stand-stand yang
berjejeran di jalanan. Ada yang menjual gula kapas, dan sebagainya. Setiap
mereka melewati sebuah stand, Sai menawarkan barang yang dijualstand tersebut. Tapi Ino
menolak. Karena Ino tahu, Sai hanya seorang mahasiswa yang tinggal sendiri di
apartemen. Ia hidup sendiri. Ia tidak punya keluarga. Ia punya nama, tapi tidak
punya marga. Ia menghidupi dirinya sendiri, kesehariannya, sekolahnya, biaya
hidupnya, semuanya ia tanggung sendiri. Karena itu, Ino tidak mau egois dengan
barang-barang yang ada disana. Memang, sedari tadi Ino memancing Sai untuk memberinya hadiah dengan menceritakan
kisah-kisah para sahabat mereka yang tidak luput dari hadiah Natal. Tapi,
walaupun hanya sebatas cincin murahan pun tak apa, Ino akan senang sekali. Asal
dia punya sesuatu yang bisa menjadi kenangannya akan Sai.
Akhirnya, sampai ke
titik yang paling ramai, pohon yang sedang disiapkan untuk Natal besok.
Segalanya tampak sempurna, sudah siap, hanya tinggal menunggu waktu.
"Cantiknya…"
Ujar Ino, terkesima. Sai hanya tersenyum mendengar tanggapan Ino. "Sai,
kembali yuk? Agak capek juga berdiri terus, hehe." Ujar Ino setelah 20
menit. Apapun yang Ino katakan, Sai tak akan menentang.
Mereka kembali ke kursi
taman yang tadi, masih kosong, belum ada yang menempati.
"Well,
masih mau bercerita? Akan kudengar semua celotehmu sampai 20 menit lagi,
setelah itu kau harus pulang." Tawar Sai yang disambut dengan tawa kecil
dari bibir Ino.
"Iya, masih. Ada
satu cerita lagi."
"Tentang siapa dan
siapa?" Sai tahu, Ino akan menceritakan kisah pasangan lain di hari Natal.
"Shikamaru dan
Temari. Walaupun pertunangan mereka ditentang oleh Gaara dan Kankurou, tapi
Shikamaru hebat sekali, bisa meyakinkan mereka kalau ia bisa menjaga Temari.
Dilamar di hari Natal, bersamaan dengan turunnya salju, white christmas.", ujar Ino dengan suara yang melemah.
"Tentu saja, mereka
'kan saling mencintai." Ujar Sai mengeluarkan pendapatnya.
"Erm." Tak
satupun cerita akan hari Natal yang diceritakan Ino meluluhkan hati Sai. Ia
ingin, setidaknya Sai menanyakan "apa yang kau inginkan untuk hari
Natal?", itu saja.
"Sai…",
panggil Ino.
"Hm?"
"Apa kau
menyukaiku…?"
"Tidak."
Sedingin cuaca, perkataan Sai tersebut membuat Ino kecewa.
"Apa aku ada di
hatimu…?"
"Tidak." Lagi,
hati Ino terasa tercabik-cabik dibuatnya.
"Apa aku ini
kekasihmu…?"
"Bukan."
Tajam, setajam pisau yang mengiris hati Ino.
"Kalau aku mati,
apa kau akan menangis?" Pertanyaan terakhir, karena Ino merasa ingin mati
dengan jawaban Sai yang sebelumnya.
"Tidak." Habis
sudah, habis sudah kesabaran Ino. Lelaki yang dicintainya selama ini, tidak
menganggapnya apa-apa. 3 tahun sudah ia gunakan sia-sia, hanya untuk mencintai
lelaki yang dicintainya. Walau ada status, tapi itu tidak akan mengubah
segalanya kalau ternyata Sai tidak menyukai Ino. Sudahlah, berakhir sajalah, pikirnya.
"Aku pergi,
Sai." Ino berdiri, tanpa ekspresi.
"Eh? Kemana?"
"Pergi, pergi
darimu. Aku sudah muak, maaf." Ia tidak meneteskan air mata setetespun,
baginya, percuma, menangisi lelaki bodoh itu. Jadi, apakah selama 3 tahun
menjalin hubungan, hanya Ino yang senang? Kalau Sai tidak mengakui kalau Ino
kekasihnya, kenapa tidak Ino terima saja ajakan lelaki lain yang lebih tampan
darinya dan mempunyai lebih banyak uang, untuk menjalin hubungan?
"Ino, kau salah paham."
Sai berdiri, dan memeluk Ino. Lebih hangat daripada pelukannya yang tadi.
"Lepas, LEPAS!
Jadi, dengan bodohnya, aku telah menyianyiakan 3 tahun. Selama 3 tahun, kupikir
kau juga senang akan hubungan yang kita jalani, ternyata.. aku tidak menyangka.
Jadi, LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU PERGI! PERGI KAU DARIKU! PERGI KAU DARI
KEHIDUPANKU! SAI!!!" Tapi Ino tak kuasa, Sai punya tenaga yang lebih. Sai
seorang lelaki.
"Aku senang, aku
senang dengan 3 tahun kita.", ujar Sai. Otomatis, Ino merasa dipermainkan.
"Senang karena bisa
selalu kutemani setiap saat? Karena aku ini cantik, jadi kau bisa memamerkanku
pada semua orang? Kejam. LEPAS!"
"Aku tidak
menyukaimu, aku mencintaimu.", ujar Sai, ucapannya barusan menenangkan
Ino. Ino tidak lagi memberontak.
"Kau tidak ada di
hatiku, kaulah hatiku.", Sai menyadari kalau Ino mulai melemah, dan mulai
melepas pelukannya yang agak kasar itu.
"Kau bukan
kekasihku, kau calon istriku.", ujar Sai sambil menyerahkan sebuah kotak
merah, siapapun tahu apa isinya.
"Kalau kau
mati," Sai memasangkan cincin perak itu pada jari manis Ino, "aku
akan mati.", Ujarnya sambil mengecup kening Ino.
"Sai...
Ini...?" Tanya Ino tak percaya.
"Maaf, mungkin aku
tidak bisa sekreatif Naruto, aku meniru Sasuke, aku tidak bisa memberikan
barang mahal seperti sepatu converse, aku tidak bisa melamarmu secepat Shikamaru melamar
Temari. Maaf, mungkin ini bukan barang mahal, cincin perak biasa, hanya ada
satu berlian kecil.", ujar Sai.
"Tidak apa, terima
kasih, Sai." Ino menangis, menangis bahagia.
"Iya, jangan sampai
hilang, ya."
Note : this fanfiction is not by me. but, i really like this....
so, i post it at my blog ..
please comment this fanfiction if you know who write this !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar